Langsung ke konten utama

Pekan pertama di Gorontalo


Selasa, 4 februari pukul 02:10 pagi lalu adalah hari yang tidak begitu ceria buat saya. Meninggalkan semua orang adalah konsekuensi dari merantau dan saya sudah memperhitungkan itu, tapi tetap saja ada jangkar yang tidak bisa dinaikkan, tertarik paksa hingga ke Gorontalo.

Berat koper dan tas ransel tidak ada bandingannya dengan beratnya perasaan saya meninggalkan tanah kelahiran beserta orang-orang berharga disana. Tapi tetap saya harus lakukan, berharap ada yang rindu disana dan menunggu saya pulang kembali, entah siapapun, dan entah kapan saya kembali.

Saya selalu berprasangka tidak ada yang mengkhawatirkan saya disini, semoga iya, tidak ada gunanya bagi mereka. Lagipula memang saya biasanya jarang pulang ke rumah semasa kuliah, jadi ada dan tidak adanya keberadaan saya di hidup mereka tidak ada bedanya sama sekali.

Tiba di bandara Djalaludin di hari yang sama pukul 06:10. Jam tangan segera ditambah 1 jam karena beda zona waktu.

Makanannya enak, sambalnya pedas-pedas, kebanyakan disini ikan dan nasi kuning. Tapi menu lainnya seperti telur dan ayam tidak sulit dicari.

Lingkungannya asri, dikelilingi gunung dan dingin kalau pagi, tapi panas waktu siang hari.

Masyarakatnya baik, mayoritas muslim, kebanyakan perempuannya bercadar, bahasa disini sudah kebanyakan bahasa Indonesia jadi tidak ada kendala bahasa apapun, lalu menurut data BPS, tindak kriminal di Gorontalo termasuk rendah lhoo, tapi harus tetap waspada.

Angkutan umum disini sudah ada gojek dan grab, untuk angkutan khasnya itu bentor, becak motor (mungkin karena panas jadi banyak bentor ketimbang ojek biasa) bahkan kalau pesan go-ride/grabbike itu yang datang malah bentor haha

Supermarket Alfamart/Indomaret ada, pusat belanja dan hiburan ada mall 4 lantai yang lumayan lengkap, matahari, bioskop, Gramedia, sport station, Natasha, body shop, hampir semuanya, yang masih mau otw dibangun itu geprek bensu dll

Jadi, sejauh ini betah disini.
Tapi gak mau terlalu betah,
Gak mau terlalu gak betah juga.
Jangan terlalu suka sesuatu
Dan jangan terlalu benci juga,
Jadi ya fine-fine aja haha

Pekan pertama, kesannya sangat bersyukur, saya jadi yakin 100% kalau saya tidak menyesal memilih penempatan gorontalo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Newfound Motivation

It's enough. I believe living like this is enough. It should be. It has to be. Ketika saya berencana menikah, tentu ini bukan kehidupan pernikahan yang saya bayangkan. Hampir dua tahun berlalu dan kami masih belum melihat ada jalan untuk kami hidup berdua. Semesta memang lucu ya. Saya mengadu kepada Yang Maha Kuasa. Namun Yang Maha Kuasa lah yang menempatkan saya di posisi sekarang ini. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak ini jalan bagi kami, selagi kami tetap berusaha, saya percaya kehidupan pernikahan seperti ini tidak akan Ia murkai. Pasti ada maksud dibalik keputusan-Nya membiarkan kami di posisi ini. Meski begitu saya hanyalah seorang manusia. Tidak ada salahnya bukan jika kadang saya merasa putus asa dalam tiap langkah saya? Hanya melangkah kedepan yang saya bisa lakukan. Meski itu sambil menangis, meronta dan mengumpat sekalipun. Jika saya terlihat melakukan segala cara halal yang bisa dilakukan, ya, saya memang se-putus asa itu dan nekat mencoba apa yang saya bisa. Biarkan kat...

crushing pressure

"Hen, tau gak si A sama istrinya pindah" "Hen si B udah pindah" "Hen kok kamu belum pindah" Somehow being told that I'm not the only one with this circumstances doesn't reassure me. What do you know about my situation? Do you think you understand how I feel? Do you think someone that you thought have the same situation as mine REALLY got no help like me? Shut up. I thought some people didn't care about me anymore, but maybe they don't care about me in the first place?

Yang kemarin

Di balik senangnya saya ketika dengar kabar teman-teman menikah, saya selalu tanya diri saya kenapa sih saya masih belum bisa seperti mereka. Jawabannya tentu tidak sesederhana 'belum punya calon untuk jadi pasangan', kalau seseorang yang saya anggap cocok dan sepadan dengan saya sudah saya temukan. Ini bukan juga perkara ada tidaknya modal untuk menikah, tetapi tentang kesiapan saya secara mental dan ilmu. Menikah itu bukan hanya tentang tinggal bersama, tetapi menyatukan dua insan, yang lebih luasnya lagi menyatukan dua keluarga besar yang berarti bukan hanya si A yang punya hubungan dengan saya, namun juga bapak, ibu, adik, kakak, nenek, kakek, paman, bibi daaaan banyak lagi yang menjadi keluarga baru saya nantinya. Buat saya rasanya semua itu sangat berat, mengurusi kerjaan dan diri saya sendiri saja saya masih belum mampu optimal. Saya masih butuh waktu untuk belajar lagi dan mengkondisikan cara saya membagi waktu. Kadang kalau ada yang tanya kapan saya menikah, sebenarnya...