Langsung ke konten utama

Saat yang menentukan

Saya selalu dihantui perasaan bersalah ketika melakukan sesuatu yang hati kecil saya bilang "tidak boleh". 

Memberi harapan, contohnya.

Ada kalanya saya melakukan sesuatu yang beresiko menimbulkan rasa, saya tahu itu salah, tapi saya tetap melakukan itu karena saya percaya dia tidak mudah memiliki rasa.

Dan tahu apa saya tentang perasaan? Tidak ada satupun yang saya mengerti apalagi tentang dia.

Melakukan sesuatu yang menurut saya biasa bisa dianggap istimewa.

Saya akui saya yang salah karena saya yang memulai, kalau sudah begini apa yang bisa dilakukan selain mempertanggungjawabkan rasa yang sudah ada.

Banyak saya belajar tentang hubungan dalam pandangan Islam, pacaran dan tunangan tentu bukanlah diantaranya.  Lebih jauh di dalam sebuah buku, si penulis selalu menegaskan "halalkan atau tinggalkan".

Saya menerjemahkannya sebagai 'serius maju' atau 'benar-benar mundur'. Karena menggantungkan harapan seseorang itu tidak baik, kalau ada kesiapan lebih baik maju, kalau tidak ada kesiapan ya buat apa dekat dari sekarang?

Iya sih, cinta itu fitrah manusia, tetapi memberi harapan yang tidak pasti itu tetap salah. Lebih baik dari awal memang tidak memberi harapan sama sekali agar tidak ada pihak yang kecewa, kan?

Dan mungkin sudah saatnya saya mengambil keputusan atas harapan yang sudah saya berikan itu...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Newfound Motivation

It's enough. I believe living like this is enough. It should be. It has to be. Ketika saya berencana menikah, tentu ini bukan kehidupan pernikahan yang saya bayangkan. Hampir dua tahun berlalu dan kami masih belum melihat ada jalan untuk kami hidup berdua. Semesta memang lucu ya. Saya mengadu kepada Yang Maha Kuasa. Namun Yang Maha Kuasa lah yang menempatkan saya di posisi sekarang ini. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak ini jalan bagi kami, selagi kami tetap berusaha, saya percaya kehidupan pernikahan seperti ini tidak akan Ia murkai. Pasti ada maksud dibalik keputusan-Nya membiarkan kami di posisi ini. Meski begitu saya hanyalah seorang manusia. Tidak ada salahnya bukan jika kadang saya merasa putus asa dalam tiap langkah saya? Hanya melangkah kedepan yang saya bisa lakukan. Meski itu sambil menangis, meronta dan mengumpat sekalipun. Jika saya terlihat melakukan segala cara halal yang bisa dilakukan, ya, saya memang se-putus asa itu dan nekat mencoba apa yang saya bisa. Biarkan kat...

crushing pressure

"Hen, tau gak si A sama istrinya pindah" "Hen si B udah pindah" "Hen kok kamu belum pindah" Somehow being told that I'm not the only one with this circumstances doesn't reassure me. What do you know about my situation? Do you think you understand how I feel? Do you think someone that you thought have the same situation as mine REALLY got no help like me? Shut up. I thought some people didn't care about me anymore, but maybe they don't care about me in the first place?

Yang kemarin

Di balik senangnya saya ketika dengar kabar teman-teman menikah, saya selalu tanya diri saya kenapa sih saya masih belum bisa seperti mereka. Jawabannya tentu tidak sesederhana 'belum punya calon untuk jadi pasangan', kalau seseorang yang saya anggap cocok dan sepadan dengan saya sudah saya temukan. Ini bukan juga perkara ada tidaknya modal untuk menikah, tetapi tentang kesiapan saya secara mental dan ilmu. Menikah itu bukan hanya tentang tinggal bersama, tetapi menyatukan dua insan, yang lebih luasnya lagi menyatukan dua keluarga besar yang berarti bukan hanya si A yang punya hubungan dengan saya, namun juga bapak, ibu, adik, kakak, nenek, kakek, paman, bibi daaaan banyak lagi yang menjadi keluarga baru saya nantinya. Buat saya rasanya semua itu sangat berat, mengurusi kerjaan dan diri saya sendiri saja saya masih belum mampu optimal. Saya masih butuh waktu untuk belajar lagi dan mengkondisikan cara saya membagi waktu. Kadang kalau ada yang tanya kapan saya menikah, sebenarnya...