Langsung ke konten utama

Fragmen 4: JPO

Topik: Infrastruktur - Tiga Jembatan Penyeberangan Orang di Jalan Sudirman  akan Dilengkapi Lift - Warta Kota

Pukul 23.00.

Teman-teman kos sudah terlelap
kota besar ini juga mulai
redup sinarnya.

Saya memutuskan keluar berjalan kaki.
Belum tau tujuannya kemana
dan untuk apa, hanya ingin berjalan
menikmati angin malam diluar sana.

Menuju JPO dekat alfamidi.
Tidak terlihat seorang pun
di sepanjang jalan haji yahya.

Saya tidak takut lagi dengan
penampakan ataupun orang jahat.
Semenjak ada sosok kakek tua misterius
datang menemui saya jam 3 pagi di kosan dulu itu,
rasanya tidak ada yang bisa lebih aneh
dan lebih mengejutkan saya dari itu.

Saya mampir sebentar di alfamidi
padahal tidak tahu mau beli apa,
melihat satu persatu barang di setiap
rak-rak berharap menemukan label harga
yang berwarna kuning dengan diskon besar,
tidak saya temukan.

Berdiri di JPO tengah malam
meskipun sesuatu yang berbahaya
adalah hal yang cukup menyenangkan.
Kamu bisa melamun memikirkan apapun
sambil melihat kendaraan lalu lalang,
ditemani angin yang kadang menusuk tulang.

Pikiran saya mulai berlarian,
terlalu banyak yang saya khawatirkan
padahal orang lain juga punya
masalah yang sama.

Hal yang paling menyita kapasitas
otak saya kala itu adalah penempatan.
Konsep bahwa suatu hari nanti akan jauh
dari keluarga dan teman-teman
adalah sesuatu yang sulit saya cerna
sejak masuk sekolah ini.

Terlebih ketika tingkat satu saya
harus menelan kenyataan bahwasanya
saya tidak mungkin bisa 10 besar
jika saingan saya orang-orang hebat ini.

Pikiran penempatan yang membebani,
ditambah oleh cerita-cerita dosen
tentang sulitnya daerah penempatan
seakan membuat saya berjalan
dalam lorong yang ujungnya jurang.
"Tidak ada yang bisa saya lakukan 
kecuali bersiap menahan sakitnya"
Begitu setiap hari saya mengingatkan diri.

"Tetapi ada jalan pintas lainnya,
kamu bisa loncat dari atas sini
saat ada mobil melintas.
Maka kamu tidak perlu lagi
melewati semua kesulitan itu"

Seperti orang yang sudah gila,
saya menahan tangis diatas sana
karena saya tidak melihat hal baik
yang ada dibalik semua kesulitan
yang kelak akan saya hadapi itu.

Saya kurang ingat apa yang paling
menakutkan sebenarnya bagi saya
sehingga saya terlalu stres dengan itu.

Entah karena saya takut tidak ada yang
melindungi orangtua saya
karena saya jauh dari rumah,
atau karena saya takut ditempatkan
di daerah yang susah sinyal,
jauh sekali dari kota dan jarang pulang.

Atau hanya karena saya tidak ingin
masa perkuliahan berakhir.

Bagi saya dipertemukan
dengan orang-orang luarbiasa
di sekolah ini sangat menyenangkan.
Mereka bukan hanya sekumpulan
kutubuku yang cuma tau membaca,
tapi juga penuh bakat dan bersahabat.

Kapan lagi saya bisa satu kos dengan
calon-calon kepala BPS masa depan
yang bukan cuma saling mengingatkan
dalam kebaikan, tapi juga membantu
jika ada yang kesulitan.

Kapan lagi saya bisa satu kelas
dengan orang-orang ambis tapi lucu,
tidak ragu merangkul siapapun
meski sebelumnya tidak kenal sedikitpun.

Kapan lagi saya bisa ikut kepanitiaan
bekerja sampai malam demi acara,
jadi penonton bayaran bareng hingga bosan
atau menginap di tempat jauh
yang belum pernah terpikir untuk saya kunjungi.

Ketika saya lihat kembali itu semua,
ya, mereka semua lah yang membuat saya
ingin sekali memutar waktu ke masa lalu,
kembali ke tingkat satu dan
menikmati setiap detik kebersamaan itu.

Sayangnya waktu tidak mengenal
berjalan ke belakang.

Napas saya jadi semakin berat,
berusaha melangkahkan kaki
menuju kosan untuk tidur,
berharap malam dapat menghapus
rasa sesak itu.

Saya hanya berharap saya bisa
mengumpulkan sebanyak mungkin
keberanian untuk berjalan maju kedepan
hingga bisa mengatakan salam perpisahan
kepada mereka dengan lantang.

Kepada hubungan persahabatan, 
kepada suka dan duka perkuliahan, 
kepada canda dan tawa,
kepada semua kebersamaan,
kepada perasaan yang tidak tersampaikan, juga
kepada kota besar yang 
telah menjadi saksi bisu itu semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

crushing pressure

"Hen, tau gak si A sama istrinya pindah" "Hen si B udah pindah" "Hen kok kamu belum pindah" Somehow being told that I'm not the only one with this circumstances doesn't reassure me. What do you know about my situation? Do you think you understand how I feel? Do you think someone that you thought have the same situation as mine REALLY got no help like me? Shut up. I thought some people didn't care about me anymore, but maybe they don't care about me in the first place?

Newfound Motivation

It's enough. I believe living like this is enough. It should be. It has to be. Ketika saya berencana menikah, tentu ini bukan kehidupan pernikahan yang saya bayangkan. Hampir dua tahun berlalu dan kami masih belum melihat ada jalan untuk kami hidup berdua. Semesta memang lucu ya. Saya mengadu kepada Yang Maha Kuasa. Namun Yang Maha Kuasa lah yang menempatkan saya di posisi sekarang ini. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak ini jalan bagi kami, selagi kami tetap berusaha, saya percaya kehidupan pernikahan seperti ini tidak akan Ia murkai. Pasti ada maksud dibalik keputusan-Nya membiarkan kami di posisi ini. Meski begitu saya hanyalah seorang manusia. Tidak ada salahnya bukan jika kadang saya merasa putus asa dalam tiap langkah saya? Hanya melangkah kedepan yang saya bisa lakukan. Meski itu sambil menangis, meronta dan mengumpat sekalipun. Jika saya terlihat melakukan segala cara halal yang bisa dilakukan, ya, saya memang se-putus asa itu dan nekat mencoba apa yang saya bisa. Biarkan kat...

Sejuta Harapan, Sejuta Masalah

Ditengah sibuknya kuliah, tentu pernah terpikir ingin jadi seperti apa nantinya kita saat dewasa, dan semua karakter di saat dewasa itu berakar dari kebiasaan yang kita lakukan sekarang. Pengalaman saya, banyak karakter yang gagal saya tanamkan ke diri saya. Beberapa karakter yang butuh kesabaran, dan beberapa karakter yang memang butuh bakat murni. Mulai dari karakter ideal pemuda kantoran jaman sekarang, hingga karakter pemuda religius... Dan pada akhirnya saya tidak bisa memaksakan diri untuk jadi seperti orang lain. Apa yang biasa saya lakukan ya itulah saya. Sebagai seorang yang tidak jelas apa tujuan dan keinginannya di masa depan, saya bisa bicara bahwa menjadi diri sendiri saja itu sudah cukup untuk menghadapi dunia, hanya butuh skill adaptasi kelas tinggi saja. Seperti mensyukuri sesuatu yang didapatkan, Tidak mengeluh ketika diamanahi sesuatu, Bahkan sesederhana bersabar.... Itulah yang terpenting menurut saya... Karena sudah terlambat bagi saya untuk ...