Langsung ke konten utama

Yang Kedua, yang Mengabaikan


Aku telah berdiri disini kira-kira sejak 3 jam yang lalu,
 baru kali ini aku rela mengabaikan auman perut 
yang begitu suram jika benar-benar kudengarkan. 
ada hal lain yang lebih penting yang harus aku lakukan daripada
 memasukkan makanan kedalam lambungku melalui mulut ini. 
Ya. Menunggu seseorang.

Menyebut ini ‘Berjemur’ mungkin lebih tepat, 
di pinggir jalan dengan wajah yang kian kemari seperti orang hilang.
 Tak terhitung sudah berapa banyak angkutan kota yang
 berhenti dihadapanku dan bertanya apakah aku akan naik atau tidak,
 hanya kujawab dengan gelengan kepala, ah maafkan aku pak supir, 
tapi tenggorokanku rasanya sudah sangat kering dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.

Membosankan sekali, kulihat layar handphone ku 
dan tak melihat satupun pesan masuk ataupun panggilan tak terjawab.
 Membuka semua aplikasi media sosial dan mendapatkan hasil yang sama. 
Aku mulai gelisah dengan semua ini.

Sayang sekali ya, aku masih sangat ingat
 dengan  nasi goreng hangat yang aku tinggalkan 
diatas meja warung itu, 
padahal aku sudah membayarnya dengan uang yang ada di dompetku.
 Aku buru-buru ke tempat ini karena 2 tahun lalu dia bilang
 dia akan pulang tanggal 24 Mei 2014,
 ya, hari ini.

 Aku yakin dengan apa yang dikatakannya karena dia tak mungkin membohongi diriku ini,
 orang yang telah mencuri hatinya (kurasa).

Kepulangannya adalah segalanya bagiku,
 terlebih setelah 2 tahun tidak bertemu dan tidak sedikitpun berkomunikasi. 
Rasanya seperti menemukan kembali setengah hatiku yang telah lama menghilang.
 Aku tak ingin kehilangan dia meski dia hanya cintaku yang ke-2,
 mungkin tidak terdengar begitu special tapi dialah 
yang selamatkan aku dari patah hati karena cinta pertamaku dulu.

Lagi-lagi sebuah mobil angkutan umum berhenti di depanku,
 aku seketika menggelengkan kepalaku, tapi mobil itu tak mau berlalu.
 Ternyata bukan mau menawarkan jasanya, 
tapi ada seseorang yang turun dari mobil itu.
 Tidak salah lagi, itu orang yang aku nantikan selama ini.
 Jantung ini berdebar ketika perempuan itu tersenyum ke arahku,
 akupun membalas senyumnya. 
Dia melangkah ke arahku dan melambaikan tangan, 
akupun membalas lambaian tangan itu.

“Wah pasti udah nunggu daritadi yah?”
 perempuan itu menyapa ke arahku dengan senyum yang indah.

“iya, tadi aku udah tunggu dari jam du----” 
ucapanku terhenti ketika ada suara lelaki dibelakangku yang juga menjawab sapaan darinya.

“Haha iya gapapa deh, mari saya antar pulang”

“Iya makasih ya, aduh jadi ngerepotin nih”
Dia bercakap dengan lelaki itu seakan aku tak ada disana.
 Lalu siapa gerangan lelaki itu? Kenapa sampai repot-repot menjemput dia 
dan memberikan sekotak cokelat serta setangkai bunga mawar untuknya di hadapanku.
 Bukannya dia adalah Pacarku? Jadi selama ini 
dia telah bersama orang lain dan begitu saja membuang cintaku?

Segera aku berlari pergi dari tempat itu, 
aku sakit, sesak dan ini terasa lebih sakit rasa lapar yang tadi muncul.
 Kepercayaanku telah diinjak-injak dan kesetiaan yang aku berikan
 sudah dibuang entah kemana olehnya. 
Aku tak tahu harus kembali pada siapa,
 aku hancur dan rasanya seperti tak ada lagi yang dapat aku percaya.


Aku belajar banyak dari kejadian memilukan ini,
 tak harus ku memarahi siapapun karena tak ada yang bisa disalahkan.
 Mungkin karena aku yang terlalu bodoh dengan berharap kepadanya. 
Aku kecewa, Cinta ke 2 yang aku banggakan tak dapat kuandalkan. 
Atau apakah aku yang terlalu bodoh mempercayai orang yang salah?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

unfortunate circumstances

I noticed something different about myself, I no longer care about my appearance, I no longer care about people's feelings, Hell I no longer care about other people in general I have burned bridges and become this bitter person that lost the ability to empathize with others. Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita. Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya. Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi. Rasa empati yang hilang, semangat menjalani

You are not who you think you are

Kita selalu beranggapan bahwa Kita tahu siapa diri kita Mungkin iya dalam beberapa kasus tertentu Tetapi jarang ada orang yang tahu siapa diri dia sebenarnya. Bisa jadi kita beranggapan bahwa kita adalah seorang yang rajin Atau religius, atau pintar, atau senang berolahraga dan lainnya Tapi apa benar begitu? Mendefinisikan identitas diri bukan perjalanan yang semudah itu Identitas diri bukan sesuatu yang kita tahu secara subjektif saja Tapi kita harus melihat dan menguji diri kita secara objektif juga. Artinya kita harus bisa terlebih dahulu menjadi sebuah cermin Yang disana tidak ada lapisan subjektifitas atau pembelaan diri. Dengan memisahkan diri sebagai penilai dan yang akan dinilai Akan terlihat siapa kita sebenarnya dalam level alam bawah sadar Anggapan bahwa kita rajin, religius, pintar dan senang olahraga Akan terbukti atau akan tidak terbukti dengan melihat perilaku kita Bukan dari anggapan atau pengakuan diri kita saja. Sulitnya melakukan evaluasi diri ini adalah kecenderunga

The day after I killed myself

Before anyone wondering, no I’m not suicidal. I’m really afraid to die… but sometimes I couldn’t lift myself up to face this harsh reality either… This note isn’t my last note nor it is my suicide note, or whatever. This note is a closure, something that I needed for a long time, something that will serve me as a reminder that suicide is not a solution but rather another problem that will 100% spawn much more problems for people around me. What I wrote here is only a fiction about what would probably happened if I did end my life. Not to fantasize about dying or anything but this is just a reminder and an EVEN MORE reason why I shouldn’t give in… ============================== The day after I killed myself. The first one who will noticed my disappearance is probably my wife. Not contacting her for longer than 24 hours is already a cue that something is going on. I’ve told her so many times that I’m tired of living our marriage long-distance like this, I want to be by her side al