Langsung ke konten utama

Dia. Bukan Aku


Melamun disini nyaman juga, di pagar koridor kelas lantai dua
 dengan pohon ketapang sebagai pelindung dari sinar matahari.
 Angin yang bertiup dari arah barat ikut menyejukan perasaanku.
 Aku teringat dengan suasana ini, suasana saat aku melamun di lantai tiga 
dengan angin yang lebih besar serta daun yang berterbangan ke arahku.

Jika aku tidak salah, waktu itu arlojiku menunjukan sudah pukul lima lebih lima menit
 dan sudah tidak ada siapa-siapa lagi selain aku dan pak pulung, penjaga sekolah ini.
 Bukanya aku tak takut dengan kehabisan angkutan umum yang menuju rumahku,
 tapi aku lebih takut lagi jika aku tak menemukan jawaban di dalam hatiku,
 jawaban atas pertanyaan teman-temanku tentang 
‘Apakah aku suka padanya?’

Sempat aku bertanya balik ‘Dia siapa maksudnya?’
 tapi teman-temanku hanya tertawa dan segera berlalu.
 Aku tahu siapa yang mereka maksud, dan aku bingung harus menjawab apa.
 Di dalam hati ini ada rasa yang bergejolak dan aku bingung untuk menjelaskannya.
 Senyumannya selalu teringat di fikiranku tapi aku takut dia tidak menerimaku 
jika aku katakan yang sebenarnya tentang perasaanku.

\%$@#@$#^%&^$Aarrgh kenapa sakit ini harus datang sekarang? Aku harus bergegas pulang dan meminum obat sakit gigi itu, karena aku memakai kawat gigi dan rasanya selalu memilukan.

Masa-masa indah di kelas X itu akan selalu aku kenang, 
karena disitulah aku menemukan cinta ke tiga ku. Seorang peri jelita yang aku panggil Beauty.


Lamunanku terhenti ketika ada yang menyapaku dari belakang,
 jantungku berdebar sangat kencang saat senyum peri itu kembali berkembang. 
Bayangan itu lenyap bagaikan asap yang ditiup angin, lagi-lagi aku berkhayal?
 Tidak heran jika aku merindukannya sekarang,
 karena cintaku yang ketiga bukanlah milikku, tapi milik seseorang diluar sana
 yang membuatku iri dan sakit hati.
 Setelah cinta pertama dan kedua yang benar-benar gagal,
 apa aku juga akan gagal di cinta ketiga ini?

Apakah Dia tercipta ke dunia ini 
agar aku memahami arti kehilangan? 
atau 
Dia memang tercipta untuk
 hidup mendampingiku selamanya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

unfortunate circumstances

I noticed something different about myself, I no longer care about my appearance, I no longer care about people's feelings, Hell I no longer care about other people in general I have burned bridges and become this bitter person that lost the ability to empathize with others. Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita. Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya. Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi. Rasa empati yang hilang, semangat menjalani

You are not who you think you are

Kita selalu beranggapan bahwa Kita tahu siapa diri kita Mungkin iya dalam beberapa kasus tertentu Tetapi jarang ada orang yang tahu siapa diri dia sebenarnya. Bisa jadi kita beranggapan bahwa kita adalah seorang yang rajin Atau religius, atau pintar, atau senang berolahraga dan lainnya Tapi apa benar begitu? Mendefinisikan identitas diri bukan perjalanan yang semudah itu Identitas diri bukan sesuatu yang kita tahu secara subjektif saja Tapi kita harus melihat dan menguji diri kita secara objektif juga. Artinya kita harus bisa terlebih dahulu menjadi sebuah cermin Yang disana tidak ada lapisan subjektifitas atau pembelaan diri. Dengan memisahkan diri sebagai penilai dan yang akan dinilai Akan terlihat siapa kita sebenarnya dalam level alam bawah sadar Anggapan bahwa kita rajin, religius, pintar dan senang olahraga Akan terbukti atau akan tidak terbukti dengan melihat perilaku kita Bukan dari anggapan atau pengakuan diri kita saja. Sulitnya melakukan evaluasi diri ini adalah kecenderunga

The day after I killed myself

Before anyone wondering, no I’m not suicidal. I’m really afraid to die… but sometimes I couldn’t lift myself up to face this harsh reality either… This note isn’t my last note nor it is my suicide note, or whatever. This note is a closure, something that I needed for a long time, something that will serve me as a reminder that suicide is not a solution but rather another problem that will 100% spawn much more problems for people around me. What I wrote here is only a fiction about what would probably happened if I did end my life. Not to fantasize about dying or anything but this is just a reminder and an EVEN MORE reason why I shouldn’t give in… ============================== The day after I killed myself. The first one who will noticed my disappearance is probably my wife. Not contacting her for longer than 24 hours is already a cue that something is going on. I’ve told her so many times that I’m tired of living our marriage long-distance like this, I want to be by her side al