It’s been four years
Sudah empat tahun yang berlalu diantara kita,
Entah telah berapa ratus kilometer ditempuh untuk saling
menjauh, membenci,
dan melupakan satu sama lain.
“Kamu adalah satu-satunya yang berbeda, bintang yang
bersinar paling terang diantara debu kosmik luar angkasa”
Kita sama-sama percaya semanis apapun kalimat yang dibuat
akan selalu terkikis
dan tereduksi oleh ruang dan waktu.
Seiring terjadinya pertemuan kita dengan orang lain yang
menurut kita lebih baik,
Bintang yang lebih bersinar dibanding bintang sebelumnya.
Karena mungkin kita hanya baru menjelajahi galaksi
bimasakti,
lebih banyak yang kita tidak tahu.
Benci bukanlah alasan bagi kita untuk berpaling arah saat
dipertemukan
Justru saat salah satu diantara kita berpalinglah akan timbul
tanya,
Tanya yang akan terus tumbuh menjadi curgia,
Dan curiga yang berkembang jadi benci.
Masalah utama semua orang bukanlah benci,
Terkadang orang-orang hanya peduli masalah yang terlihat,
kan?
Aku, mungkin juga korban dari sebuah teror psikologis terbaru.
Perasaan suka dan perasaan gelisah yang tercampur,
Dibalut dengan rasa percaya yang tidak begitu kentara dengan
curiga.
“Berdoalah saat kamu ragu akan kehadiranmu dihatinya”
Janganlah menunggu
cinta, juga jangan mengejarnya,
Tapi bukan berarti tak peduli dengan cinta.
Berdoalah selalu pada Tuhan agar perasaan cintamu menjadi
sesuatu yang nyata,
Cinta fana hanya akan membawa kehancuran batin bagi yang
empunya.
Berbenah diri adalah hal yang tepat untuk dijalani.
Sang gunung adalah teladan terbaik untuk kita belajar
memahami arti diam.
Berdiam, tetapi tidak sedang menunggu.
Punya harapan suatu saat Sang awan akan datang padanya, tapi
tidak begitu berharap.
Selalu memperbaiki diri untuk menjadi sosok yang baik.
Mengeluarkan isi hatinya sesekali untuk membersihkan iri dan
dengki.
Sekaligus menjawab pertanyaan mereka yang selalu ragu akan
ke-istiqomahannya.
Tentu saja dengan jawaban yang mengguncangkan hati dan
kehidupan mereka.
Hidup itu harus munafik, terutama dalam hal perasaan
terhadap seseorang.
Seperti sang gunung, selalu bertopengkan kabut pekat.
Tuk sembunyikan apa yang ada didasar hati dan dasar jiwanya.
Kita tidak akan tahu betapa pentingnya hal itu,
sampai kita
kehilangan mereka yang kita cinta.
Karena cinta yang diberikan sekejap saat ia baru tumbuh
hanya akan membunuhnya
Tunas cinta terbakar hawa keraguan, kekurangan kepercayaan,
akhirnya tidak tumbuh bahkan mati.
Cinta membusuk, dan mengering dalam ruang dan waktu,
kemudian lenyap tak berbekas.
Menjaga cinta untuk diri sendiri bukanlah munafik.
Selama tidak berkata apapun tentang perasaan yang dimiliki.
Banyak orang gagal justru ditahap ini,
mencoba istiqomah
tanpa berniat untuk sungguh-sungguh.
Cinta akan terus berkembang, cinta kepada orang lain
akan
memperbesar cinta kita kepada Tuhan.
Semakin kita menyadari banyak hal luarbiasa,
semakin juga
kita kagum akan Sang Pencipta.
Dan menjaga diri dan perasaan kita adalah salah satu cara,
untuk mengagumi kuasa-Nya.
Sang gunung tidak tahu kapan awan akan kembali padanya.
Meskipun kembali, dia tidak tahu pasti apakah ia masih awan
yang sama.
Meskipun bertemu lagi, dia takkan tahu apakah awan
memberikan hujan kepada oranglain.
Tapi Sang gunung tetap disana, berdiam tanpa mengharapkan sesuatu yang berlebihan.
Ia sadar bahwa mungkin awan juga akan berfikir hal yang sama
saat dipenuhi kegelisahan
Hanya kata percaya yang menguatkan keduanya.
‘Percaya bahwa orang baik akan bertemu dengan yang baik,
juga sebaliknya’
Satu yang ia selalu inginkan,
Ia harus menjadi ‘yang terbaik’ untuk Sang awan saat mereka
bertemu lagi.
Aku, masih jauh untuk berfikir seperti itu
Bagaimana mungkin untuk menghilangkan keraguan?
Maksudku, bagaimana kita bisa tahu bahwa kita masih ada
dihatinya?
Dan bagaimana pula cara meyakinkan seseorang bahwa dihati
ini hanya ada orang tsb?
Gunung, aku berharap kau bisa berbicara dan memberitahuku
caranya. . .
Komentar
Posting Komentar