Langsung ke konten utama

Kumo - Ke(tidak)jelasan Hati


Sepandangan mata dan juga iringan waktu, 
pasti akan ada yang hilang,
dan akan ada pula hal baru yang muncul.

Hilangnya sesuatu itu bukan semata hanya karena tergerus perubahan zaman,
namun juga karena nilai yang tak lagi dianggap berharga, 
lalu mengecil, dan lenyap.

Dalam sudut lain, akan muncul hal baru 
yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya.
Dan lagi-lagi, zaman bukanlah satu-satunya untuk disalahkan.
Karena secara tidak sadar, pribadi kita mulai berubah,
Arah berpikir dan cara pandang kita terhadap sesuatu juga berkembang,
Baik ke arah positif maupun negatif. 
Singkatnya, berubah ke arah yang lebih intens dari biasanya, 
dan lebih spesifik lagi.

Pemikiran ku tentang perasaan juga mulai berubah,
Bahkan sangat bertentangan dengan cara berpikirku di masa lalu.
Menurutku, anggapan bahwa "suatu hal akan selalu menjadi yang terbaik"
dan mindset orang yang menyangkal paham tentang 
"Masih ada langit di atas langit"
adalah kesalahan besar.

Cinta yang inkonsisten misalnya.
Yang (mungkin) pernah membuat orang berpikir
untuk tidak mencari pengganti pasangan selamanya.
dengan anggapan sama, mereka berkata 
"Dialah yang terbaik, dan takkan ada yang lebih baik dari dia,
jadi untuk apa aku mencari yang lain"

Lama-kelamaan cinta tanpa ikatan ini akan hambar,
terabaikan, dilupakan, hingga lenyap begitu saja 
seiring dengan hadirnya orang yang lebih baik daripada sebelumnya.
Ini sangat wajar. Bukankah bumi pun selalu menghadirkan generasi baru
dan menyisihkan mereka yang tidak bisa bertahan sebagai "yang terkuat"?

Itulah mengapa aku setuju pada perubahan,
terutama perubahan yang baik.
Aku juga punya pendapat 
yang sejalan tentang move on.

Move on kadang sangat diperlukan,
tapi bukanlah suatu kewajiban.
Malahan buatku, move on itu tabu,
hanya metode pelarian tanpa tanggungjawab
yang dilakukan orang demi menutupi kesalahannya
dalam memilih pelabuhan untuk melabuhkan rasa.

Perubahan semacam ini hanyalah klise, omong kosong.
Fakta yang kutemukan adalah orang yang move on itu 
kebanyakan adalah mereka yang telah menemukan orang 
yang lebih baik dari sebelumnya,
dan aku benci itu.

Pernahkah sebelumnya mereka yang move on berpikir
bagaimana rasanya dilupakan karena 
bukan merupakan golongan "orang terbaik"?
Tidak. Mereka hanya berpikir akan satu hal:
"Ada orang yang lebih baik dari dia,
lantas untuk apa aku bertahan?"

Aku hanya membenarkan mereka yang move on
dengan alasan dan argumentasi mengenai moral dan akhlak.
Meninggalkan seseorang karena mereka tidak ber-akhlak baik adalah hal tepat.
Mungkin ada juga yang meminta waktu untuk memperbaiki diri,
tapi percayalah, meninggalkannya langsung 
akan memotivasi mereka dengan luarbiasa.

Tetapi, meninggalkan seseorang dengan alasan
'terlalu baik' adalah alibi, dapat dipastikan ada hal lain
yang lebih parah sehingga alasan sebenarnya disembunyikan.

Sayangnya, tidak semua alasan move on merupakan pertimbangan
dan perbandingan kebaikan dalam hal moral dan agama.
Banyak sekali dari mereka yang membandingkan fisik dan nasib.
Kurang ganteng lah,
kurang tinggi lah,
kurang kaya lah,
ga pinter lah,
ga jago gitar lah.
Semua hal sepele mereka jadikan alasan,
Sampai-sampai tidak sadar bahwa fisik itu sangat relatif, 
dan mereka juga lupa kalau nasib itu bisa diubah.

Lalu bagaimana dengan ku?
Aku tidak sedang berpaling dari siapapun,
tapi aku juga tidak sedang bertahan demi siapapun.
Aku ingin bebas layaknya air yang mengalir, 
bukan seperti air yang membeku ditempat.
Tidak terbelenggu bejana perasaan,
Dan masih mencari seseorang
yang bisa diajak untuk menguap bersama
ke titik tertinggi langit 'tuk bertemu Sang Pencipta.  

.
.
.
.
.

Sedikit ku ketahui tentang dirinya,
Sama seperti ketidaktahuanku tentang awan.
Aku tidak tahu darimana dia berasal,
Ke arah mana dia menuju,
Dan apa yang tersembunyi di lubuk hatinya.

.
.
.
.
.

Satu yang aku yakini:
Aku harus menjadi tetes air yang jernih
Agar aku menjadi yang terbaik untuknya kelak.
Siapapun dia.

Komentar

  1. Aku punya solusi untukmu setelah membaca beberapa postingan galaumu wkwkwk. Mungkin kau perlu mencobanya. Aku membacanya di line.
    "Jika hati tidak diisi dengan kecintaan kepada Allah, pastilah akan diisi cinta selain Allah" (Ibnu Qayyim). Selalu ingat kata-kata itu, dan lakukan dengan kesungguhan hati. Mungkin tak akan membuatmu move on darinya, tapi akan membuatmu ikhlas melepasnya. Satu lagi, menulis saat galau memang ekspresif, tapi kau bisa coba menulis motivasi untuk menetralkan perasaanmu. Wkwkwk... maafkan aku bila sok menggurui, tapi tulisanmu mengingatkanku dengan masa lalu. Walaupun beda versi. Keren. Lanjutkan menulis ya :)

    BalasHapus
  2. Terimakasih masukannya, saya memang agak sengaja mengeluarkan semua kesedihan karena, ya, seorang laki-laki jarang sekali punya tempat mencurahkan apa yang dirasakan. Tapi saya bakal terus menulis, dan belajar agar menulis lebih baik lagi. Sekali lagi saya mengucapkan terimakasih banyak :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

unfortunate circumstances

I noticed something different about myself, I no longer care about my appearance, I no longer care about people's feelings, Hell I no longer care about other people in general I have burned bridges and become this bitter person that lost the ability to empathize with others. Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita. Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya. Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi. Rasa empati yang hilang, semangat menjalani

You are not who you think you are

Kita selalu beranggapan bahwa Kita tahu siapa diri kita Mungkin iya dalam beberapa kasus tertentu Tetapi jarang ada orang yang tahu siapa diri dia sebenarnya. Bisa jadi kita beranggapan bahwa kita adalah seorang yang rajin Atau religius, atau pintar, atau senang berolahraga dan lainnya Tapi apa benar begitu? Mendefinisikan identitas diri bukan perjalanan yang semudah itu Identitas diri bukan sesuatu yang kita tahu secara subjektif saja Tapi kita harus melihat dan menguji diri kita secara objektif juga. Artinya kita harus bisa terlebih dahulu menjadi sebuah cermin Yang disana tidak ada lapisan subjektifitas atau pembelaan diri. Dengan memisahkan diri sebagai penilai dan yang akan dinilai Akan terlihat siapa kita sebenarnya dalam level alam bawah sadar Anggapan bahwa kita rajin, religius, pintar dan senang olahraga Akan terbukti atau akan tidak terbukti dengan melihat perilaku kita Bukan dari anggapan atau pengakuan diri kita saja. Sulitnya melakukan evaluasi diri ini adalah kecenderunga

The day after I killed myself

Before anyone wondering, no I’m not suicidal. I’m really afraid to die… but sometimes I couldn’t lift myself up to face this harsh reality either… This note isn’t my last note nor it is my suicide note, or whatever. This note is a closure, something that I needed for a long time, something that will serve me as a reminder that suicide is not a solution but rather another problem that will 100% spawn much more problems for people around me. What I wrote here is only a fiction about what would probably happened if I did end my life. Not to fantasize about dying or anything but this is just a reminder and an EVEN MORE reason why I shouldn’t give in… ============================== The day after I killed myself. The first one who will noticed my disappearance is probably my wife. Not contacting her for longer than 24 hours is already a cue that something is going on. I’ve told her so many times that I’m tired of living our marriage long-distance like this, I want to be by her side al