Langsung ke konten utama

Inilah Saya



Keluarga adalah hal terpenting bagi saya,
Prioritas pertama saya dan selalu saya dahulukan.

Keluarga itu selalu jadi yang terbaik,
Apapun alasannya dan bagaimanapun keadaannya.
Masalah yang pernah melanda keluarga mungkin merubah pandangan kita
Terhadap keluarga kita
Namun jangan pernah kita mengurangi hormat kita kepada keluarga,
Apalagi kepada orangtua, ayah dan ibu kita.

Dari semasa saya kecil, batita, balita hingga dewasa,
Ayah dan ibu saya selalu bekerja keras.
Saya terlahir di tahun 97 dimana krisis ekonomi akan melanda indonesia
Disusul kelahiran adik saya di 98 yang juga menambah tantangan keluarga saya.
Ayah saya pernah bilang kalau dulu banyak kerusuhan dimana-mana,
Untuk cari beras dan kebutuhan pokok lain itu susah,
Bukan hanya karena harganya yang melambung ke langit,
Tapi juga keberadaannya yang sulit.
Syukurlah daerah banten tidak begitu bergejolak,
Masalahnya adalah yang dulu sering dirampok dan dirampas harta bendanya
Itu kaum tionghoa atau cina,
Dan kebetulan ayah saya merupakan keturunan cina.
Maka dari itu bisa saya simpulkan
Bahwa tahun 97-98 adalah tahun perjuangan yang amat sangat berat bagi ayah dan ibu saya
Namun mereka sangat hebat sehingga berhasil melalui itu.
Sungguh luarbiasa pengorbanan mereka.

Saya memang bukan keturunan keluarga berada,
Tapi kalau semuanya dilihat dari status keluarga,
Lantas gimana nasibnya orang-orang yang terlahir di dunia dari keluarga yang ‘tidak berada’?
Mereka pasti akan terus dinilai buruk,
Dan mereka pun mulai menyalahkan takdir ‘kenapa mereka terlahir di keluarga ini’,
Mengutuk diri mereka dan akhirnya menganggap tuhan tidak adil.

TIDAK

Keluarga saya selalu menghindari prasangka buruk itu,
‘Orang yang hebat adalah orang yang bisa mengubah nasib’
Itu yang bisa saya simpulkan dari nilai hidup tersirat keluarga saya.
Memang, keluarga saya bukan keluarga ningrat dimana leluhur saya berdarah biru,
Bukan keluarga pendidikan karena leluhur saya tidak menempuh pendidikan formal begitu tinggi,
Dan juga bukan keluarga tajir karena leluhur saya tidak punya kebun kelapa sawit
yang bisa diwariskan ke saya kapanpun mereka mau,
Namun keluarga saya adalah keluarga saya,
Mereka tempat pulang bagi saya dan yang selalu membanggakan keberadaan saya.

Tantangan terberat saya adalah minder.
Contohnya adalah saat saya tahu kalau teman saya kaya raya,
Saat saya tahu teman saya punya segalanya,
Juga saat saya tahu kalau umroh bagi mereka adalah hal yang bisa kapan saja dilakukan.
Apa hati saya patah? Tergores? Tersenebi? Iya.
Saya akui saya selalu iri dengan mereka yang punya keberuntungan lebih,
Namun itu juga yang menjadi motivasi saya untuk terus maju.
Karena saya tahu bukan siapa-siapa makanya saya harus berjuang lebih keras dari orang itu,
Dari dia, dia, dia dan semua orang di sekitar saya.

Saya bersyukur memilih tempat kuliah saya saat ini karena
Banyak hal disini yang merubah emosional saya,
Merubah cara saya memandang dunia.
Bahwa di Indonesia saja saya bisa merasakan iri, kesal dan sebal karena perbedaan nasib.
Untuk itulah saya juga harus menunjukkan bahwa saya bisa lebih dari mereka.

Mungkin kadang saya lupa juga dengan status saya sebagai orang biasa,
Saat khilaf saya selalu terbawa ikut mereka makan di restoran mahal,
Saya jadi ikut beli keperluan yang tidak saya butuhkan,
Saya ikut mereka menonton film di bioskop,
Saya ikut mereka bermain di timezone,
Saya ikut gaya hidup mereka yang glamour.
Padahal setelahnya saya selalu menyesal,
Iya, uang itu bukan segalanya,
Namun menghamburkan uang akan membuat saya harus meminta uang lebih ke orangtua saya
Dan itu akan menambah beban mereka, yakan?.

Saya tidak boleh ikut seperti mereka,
Semestinya saya diam di kosan,
Memasak makanan sendiri setiap hari,
Menonton film di laptop untuk menghemat biaya hiburan,
Bermain game kesukaan agar tidak perlu ke timezone,
Bahkan puasa daud kalau perlu.
Maaf itu bukan ekstrim,
Terkadang saya juga mawas diri bahwa
Walaupun kuliah saya gratis tapi jangan sampai saya menghamburkan uang saku saya begitu saja,
Alhamdulillah saya juga masih bisa menabung dari usaha saya hidup sederhana di jakarta.

Dan itulah alasan mengapa saya harus selalu sadar
Kalau saya terlahir bukan dikeluarga yang serba berkecukupan,
Namun dikeluarga yang mengajarkan bahwa saya harus berjuang untuk dapat hal yang saya mau.
Dan mungkin saya juga harus mulai belajar untuk tidak minder dihadapan orang ‘berada’,
Karena tidak sedikit orang yang nasibnya tidak lebih baik dari saya,
Bersyukur atas apa yang saya miliki adalah jalan keluar untuk semua masalah iri.

Terimakasih kepada keluarga saya,
Selama 19 tahun saya menjalani kehidupan sudah banyak pelajaran penting yang saya dapatkan.
Semoga saya bisa mengubah nasib keluarga ini menjadi lebih baik,
Bukan agar generasi selanjutnya tidak minder,
Mereka yang lahir di keluarga yang sudah berubah lebih baik nanti tidak boleh lupa
Dengan perjuangan para leluhurnya dalam memajukan keluarga,
Saya ingin merubah nasib keluarga, agar keluarga ini tidak dipandang sebelah mata.

Karena saya cinta kedua keluarga ini,
Baik keluarga sunda kakek-nenek dari ibu saya,
Juga keluarga cina kakek-nenek saya dari ayah saya.

Terimakasih sudah membaca.
Post ini adalah pengingat untuk saya,
Agar saya tidak sombong,
Agar saya tidak pelit,
Agar saya tidak hedon,
Dan agar saya selalu bersyukur atas segala keadaan.
Semoga semangatnya bisa tertular kepada pembaca sekalian,
Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

unfortunate circumstances

I noticed something different about myself, I no longer care about my appearance, I no longer care about people's feelings, Hell I no longer care about other people in general I have burned bridges and become this bitter person that lost the ability to empathize with others. Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita. Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya. Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi. Rasa empati yang hilang, semangat menjalani

You are not who you think you are

Kita selalu beranggapan bahwa Kita tahu siapa diri kita Mungkin iya dalam beberapa kasus tertentu Tetapi jarang ada orang yang tahu siapa diri dia sebenarnya. Bisa jadi kita beranggapan bahwa kita adalah seorang yang rajin Atau religius, atau pintar, atau senang berolahraga dan lainnya Tapi apa benar begitu? Mendefinisikan identitas diri bukan perjalanan yang semudah itu Identitas diri bukan sesuatu yang kita tahu secara subjektif saja Tapi kita harus melihat dan menguji diri kita secara objektif juga. Artinya kita harus bisa terlebih dahulu menjadi sebuah cermin Yang disana tidak ada lapisan subjektifitas atau pembelaan diri. Dengan memisahkan diri sebagai penilai dan yang akan dinilai Akan terlihat siapa kita sebenarnya dalam level alam bawah sadar Anggapan bahwa kita rajin, religius, pintar dan senang olahraga Akan terbukti atau akan tidak terbukti dengan melihat perilaku kita Bukan dari anggapan atau pengakuan diri kita saja. Sulitnya melakukan evaluasi diri ini adalah kecenderunga

The day after I killed myself

Before anyone wondering, no I’m not suicidal. I’m really afraid to die… but sometimes I couldn’t lift myself up to face this harsh reality either… This note isn’t my last note nor it is my suicide note, or whatever. This note is a closure, something that I needed for a long time, something that will serve me as a reminder that suicide is not a solution but rather another problem that will 100% spawn much more problems for people around me. What I wrote here is only a fiction about what would probably happened if I did end my life. Not to fantasize about dying or anything but this is just a reminder and an EVEN MORE reason why I shouldn’t give in… ============================== The day after I killed myself. The first one who will noticed my disappearance is probably my wife. Not contacting her for longer than 24 hours is already a cue that something is going on. I’ve told her so many times that I’m tired of living our marriage long-distance like this, I want to be by her side al