Pukul 23.00.
Teman-teman kos sudah terlelap
kota besar ini juga mulai
redup sinarnya.
Saya memutuskan keluar berjalan kaki.
Belum tau tujuannya kemana
dan untuk apa, hanya ingin berjalan
menikmati angin malam diluar sana.
Menuju JPO dekat alfamidi.
Tidak terlihat seorang pun
di sepanjang jalan haji yahya.
Saya tidak takut lagi dengan
penampakan ataupun orang jahat.
Semenjak ada sosok kakek tua misterius
datang menemui saya jam 3 pagi di kosan dulu itu,
rasanya tidak ada yang bisa lebih aneh
dan lebih mengejutkan saya dari itu.
Saya mampir sebentar di alfamidi
padahal tidak tahu mau beli apa,
melihat satu persatu barang di setiap
rak-rak berharap menemukan label harga
yang berwarna kuning dengan diskon besar,
tidak saya temukan.
Berdiri di JPO tengah malam
meskipun sesuatu yang berbahaya
adalah hal yang cukup menyenangkan.
Kamu bisa melamun memikirkan apapun
sambil melihat kendaraan lalu lalang,
ditemani angin yang kadang menusuk tulang.
Pikiran saya mulai berlarian,
terlalu banyak yang saya khawatirkan
padahal orang lain juga punya
masalah yang sama.
Hal yang paling menyita kapasitas
otak saya kala itu adalah penempatan.
Konsep bahwa suatu hari nanti akan jauh
dari keluarga dan teman-teman
adalah sesuatu yang sulit saya cerna
sejak masuk sekolah ini.
Terlebih ketika tingkat satu saya
harus menelan kenyataan bahwasanya
saya tidak mungkin bisa 10 besar
jika saingan saya orang-orang hebat ini.
Pikiran penempatan yang membebani,
ditambah oleh cerita-cerita dosen
tentang sulitnya daerah penempatan
seakan membuat saya berjalan
dalam lorong yang ujungnya jurang.
"Tidak ada yang bisa saya lakukan
kecuali bersiap menahan sakitnya"
Begitu setiap hari saya mengingatkan diri.
"Tetapi ada jalan pintas lainnya,
kamu bisa loncat dari atas sini
saat ada mobil melintas.
Maka kamu tidak perlu lagi
melewati semua kesulitan itu"
Seperti orang yang sudah gila,
saya menahan tangis diatas sana
karena saya tidak melihat hal baik
yang ada dibalik semua kesulitan
yang kelak akan saya hadapi itu.
Saya kurang ingat apa yang paling
menakutkan sebenarnya bagi saya
sehingga saya terlalu stres dengan itu.
Entah karena saya takut tidak ada yang
melindungi orangtua saya
karena saya jauh dari rumah,
atau karena saya takut ditempatkan
di daerah yang susah sinyal,
jauh sekali dari kota dan jarang pulang.
Atau hanya karena saya tidak ingin
masa perkuliahan berakhir.
Bagi saya dipertemukan
dengan orang-orang luarbiasa
di sekolah ini sangat menyenangkan.
Mereka bukan hanya sekumpulan
kutubuku yang cuma tau membaca,
tapi juga penuh bakat dan bersahabat.
Kapan lagi saya bisa satu kos dengan
calon-calon kepala BPS masa depan
yang bukan cuma saling mengingatkan
dalam kebaikan, tapi juga membantu
jika ada yang kesulitan.
Kapan lagi saya bisa satu kelas
dengan orang-orang ambis tapi lucu,
tidak ragu merangkul siapapun
meski sebelumnya tidak kenal sedikitpun.
Kapan lagi saya bisa ikut kepanitiaan
bekerja sampai malam demi acara,
jadi penonton bayaran bareng hingga bosan
atau menginap di tempat jauh
yang belum pernah terpikir untuk saya kunjungi.
Ketika saya lihat kembali itu semua,
ya, mereka semua lah yang membuat saya
ingin sekali memutar waktu ke masa lalu,
kembali ke tingkat satu dan
menikmati setiap detik kebersamaan itu.
Sayangnya waktu tidak mengenal
berjalan ke belakang.
Napas saya jadi semakin berat,
berusaha melangkahkan kaki
menuju kosan untuk tidur,
berharap malam dapat menghapus
rasa sesak itu.
Saya hanya berharap saya bisa
mengumpulkan sebanyak mungkin
keberanian untuk berjalan maju kedepan
hingga bisa mengatakan salam perpisahan
kepada mereka dengan lantang.
Kepada hubungan persahabatan,
kepada suka dan duka perkuliahan,
kepada canda dan tawa,
kepada semua kebersamaan,
kepada perasaan yang tidak tersampaikan, juga
kepada kota besar yang
telah menjadi saksi bisu itu semua.
Komentar
Posting Komentar