Langsung ke konten utama

Fragmen 5: Sapa


Satu hal yang saya rasa menghilang dari keseharian saya menjadi mahasiswa adalah sapaan.

Saya sangat suka saat ketika saya berjalan mencari makan di malam hari lalu bertemu dengan teman kampus. Tidak hanya malam hari sebenernya, ketika jalan di lorong kampus ataupun saat berdiri mengantri lift saya senang sekali menyapa mereka yang saya kenal. Obrolan singkatnya pun sangat berbeda di tiap orang.

Dama dan teman-teman mabar mobile legends lainnya misalnya, pasti saya sapa sambil menanyakan kapan lagi ada rencana mabar, atau kapan mau ikutan turnamen mobile legends selanjutnya, atau sekedar mereviu performa bermain tim kami kemarin malam. Dama yang selalu berperingai ramah memang sangat nyaman untuk diajak bicara apapun itu.
 
Alex dan eja sudah saya anggap sebagai senpai dalam kehidupan saya sehingga dimanapun kami bertemu pasti saya selalu panggil senpai, entah kenapa ya sejak di kelas 2E dulu terbawa terus sampai sekarang, seru aja wkwk siapa tau mereka jadi kepala instansi nanti kan terus saya masih panggil senpai wkwk

Nak anak kosan citoy juga yang sering saling panggil "lappet" mulai saya rindukan suaranya, dimana mereka sekarang, sedang apa mereka di malam hari yang biasanya kami kumpul di ruang tempat nonton tivi itu, saya menginginkan suatu saat nanti kami satu kantor dan bisa kembali satu kosan. Kemungkinannya mungkin sangat sangat kecil sekali ya, tapi saya selalu berharap. Hal yang paling saya ingat adalah bahwa mereka selalu siap diajak main kemanapun walaupun dadakan mau itu nonton di bassura atau sekedar belanja bulanan ke alfamidi di dekat JPO.

Dengan dede saya selalu menghitung berapa banyak kesamaan yang kami punya, kami hitung sejauh ini ada 7, saya sudah lupa apa-apa saja, untuk setiap kesamaan itu kami jentikkan jari sekali tiap kali kami bertemu dan bersalaman. Sapaan teman kos yonkoret, jabat tangan dan 7 jentikan jari adalah cara kami memulai obrolan kapanpun kami bertemu.

Inong-inong yang waktu bertemu pasti saya coba ajak main ke pameran-pameran di jakarta yang saya sendiri bahkan belum pernah kesana. Pameran buku Islamic Book Fair, Gelar Jepang Universitas Indonesia, Museum Macan, Habibie Festival, Supermentor, dan masih banyak lagi yang ingin sekali kami kunjungi di jakarta.

Mantan anggota pencacah lapangan: tiga orang setrong yang pernah saya tinggalin sendirian di kampung yang banyak anjing keliaran haha. Kalau nyapa mereka saya masih suka panggil mereka "pcl" karena mereka anggota yang luar biasa kerjanya.

Anak-anak PBO 28 dan anak-anak hedon yang paling sering banyak komunikasi selama kuliah meskipun anak PBO 28 hanya sekitar sebulan di masa pengenalan dengan saya dan anak hedon hanya setahun sekelas dengan saya di tahun pertama, hubungan yang erat seperti itu pastinya membuat saya tidak ragu menyapa mereka kalau bertemu dimanapun. Saya ingat ratna, tiap kali ketemu ratna pasti saya sapa "Siswaaaaaaaaa", dan andro yang harus saya sapa "Droooooooo".

Tidak lupa anak bimbel yang selalu membahas progres modul dan progres persiapan event wkwk.

Ketika dipikir-pikir, ternyata saya punya banyak sekali teman ya...
Kalau saya ingat setiap hari selalu bertemu dan menyapa mereka di setiap sudut otista,
atau bisa jadi karena otista memang tempat yang sempit ya.

Kebiasaan saya yang selalu menyapa itu sebenarnya juga membuat saya ingin tahu bagaimana orang lain melihatnya, apakah saya dinilai sebagai orang yang sangat komunikatif dan senang bicara? Atau malah mereka melihat saya sebagai orang yang terlalu banyak bicara dan mengganggu?? Semoga tidak kondisi yang kedua.

Dengan itu, lalu kenapa saya selama di kampus selalu merasa terasing dari mereka? Oh iya saya lupa, jelas karena mereka ada di level yang lebih tinggi dan jauh berbeda dengan saya. Mungkin di masa depan pun keadaannya akan tetap sama dan kami akan bertemu ketika mereka sudah duduk sebagai pejabat tinggi instansi. Yaa, setidaknya saya dulu bisa membuat mereka tersenyum ketika bertemu saya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

unfortunate circumstances

I noticed something different about myself, I no longer care about my appearance, I no longer care about people's feelings, Hell I no longer care about other people in general I have burned bridges and become this bitter person that lost the ability to empathize with others. Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita. Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya. Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi. Rasa empati yang hilang, semangat menjalani

You are not who you think you are

Kita selalu beranggapan bahwa Kita tahu siapa diri kita Mungkin iya dalam beberapa kasus tertentu Tetapi jarang ada orang yang tahu siapa diri dia sebenarnya. Bisa jadi kita beranggapan bahwa kita adalah seorang yang rajin Atau religius, atau pintar, atau senang berolahraga dan lainnya Tapi apa benar begitu? Mendefinisikan identitas diri bukan perjalanan yang semudah itu Identitas diri bukan sesuatu yang kita tahu secara subjektif saja Tapi kita harus melihat dan menguji diri kita secara objektif juga. Artinya kita harus bisa terlebih dahulu menjadi sebuah cermin Yang disana tidak ada lapisan subjektifitas atau pembelaan diri. Dengan memisahkan diri sebagai penilai dan yang akan dinilai Akan terlihat siapa kita sebenarnya dalam level alam bawah sadar Anggapan bahwa kita rajin, religius, pintar dan senang olahraga Akan terbukti atau akan tidak terbukti dengan melihat perilaku kita Bukan dari anggapan atau pengakuan diri kita saja. Sulitnya melakukan evaluasi diri ini adalah kecenderunga

The day after I killed myself

Before anyone wondering, no I’m not suicidal. I’m really afraid to die… but sometimes I couldn’t lift myself up to face this harsh reality either… This note isn’t my last note nor it is my suicide note, or whatever. This note is a closure, something that I needed for a long time, something that will serve me as a reminder that suicide is not a solution but rather another problem that will 100% spawn much more problems for people around me. What I wrote here is only a fiction about what would probably happened if I did end my life. Not to fantasize about dying or anything but this is just a reminder and an EVEN MORE reason why I shouldn’t give in… ============================== The day after I killed myself. The first one who will noticed my disappearance is probably my wife. Not contacting her for longer than 24 hours is already a cue that something is going on. I’ve told her so many times that I’m tired of living our marriage long-distance like this, I want to be by her side al