Langsung ke konten utama

Yang Dipikirkan dan yang Dirasakan


Tak biasanya aku masih terbangun selarut ini,
 apa yang sedang kau lakukan wahai otakku? 
Apa kau belum lelah terjaga semalaman begini?

***

Hah, akhirnya aku bosan juga bermain Call of Juarez di laptopku,
 masuk ke ruang keluarga ku nyalakan televisi dan mencari stasiun tv 
yang masih menyiarkan program mereka. 
Aku tak terlalu suka dengan pertandingan bola yang pemainnya
 Negara yang tak ku jagokan, juga dengan sinetron 
dan siaran joged-joged tak jelas lainnya. 
Tapi selain acara-acara itu aku tak menemukan 
film box office luar negeri yang aku cari,
 jadi segera kembali ku matikan televisi itu.

Kembali aku ke kamarku setelah mematikan lampu di dalam rumah
 dan mengunci semua pintu masuk ke rumahku ini.
 Ku kecilkan volume laptopku karena kedua adik dan kedua orangtuaku serta nenekku tercinta 
sudah pergi ke alam mimpi.

Melihat film-film movie Kamen Rider tengah malam begini asik juga rupanya.
Terlepas dari semua senyum dan kebahagiaan di waktu pagi sampai detik ini,
 aku masih memikirkan satu pemikiran rumit antara Otak dan Hatiku. 
Otak ku ini masih berdebat dengan perasaan yang aku miliki di Hati ku ini. . . . .

***

“Apa kau sudah gila? Dia pernah menyakitimu dua kali dan kenapa kau masih menaruh harapan padanya?”

“Tidak masalah, itu pasti terakhir kalinya dia mengecewakanku, aku yakin dia tak akan mengulanginya lagi”

“Hey tahan cintamu itu, bagaimana kau bisa yakin? Mempercayai orang yang mengabaikan perasaanmu dua kali itu adalah hal yang gila!”

“Ini sama sekali tidak gila, mungkin kamu terlalu banyak memikirkan daripada merasakannya. Aku ingat kedua moment menyakitkan itu merupakan kesalahan dia yang terulang, tapi kali ini aku yakin dia sudah berubah dan melupakan kaka kelas itu”

“Kalau kau benar-benar ingat itu, mungkin kau juga ingat pertama kali bertemu dengannya di bangku kelas satu SMA dan kebetulan satu ekstra dengannya kan? Dia memang berbeda, selalu membuat kita tersenyum, mendekatinya dan akhirnya kau benar-benar dekat dengannya. Disinilah letak kesalahanmu, kau terlalu percaya sampai-sampai tidak menyadari bahwa kaka kelasmu mengambilnya dari hadapanmu”

“Ya, tapi setidaknya aku berhasil dekat dengannya lagi kan?”

“Bukan itu keadaannya, dia dekat denganmu karena dia juga disakiti oleh kaka kelas itu. Kau diposisikan sebagai pelampiasan. Kau mengorbankan semua dan lakukan apapun untuk dia dengan ceroboh!”

“Aku lakukan itu untuk menunjukan bahwa aku memang selalu ada untuk dia, bahkan disaat dia sedang berduka. Apa salahnya?”

“Salahnya kau tak tahu kalau dia masih menaruh harapan pada kaka kelas itu. Kau mungkin ‘Hati’ dengan perasaan cinta yang tulus, tapi kau terlalu bodoh dengan tidak waspadai resikonya. Waktu itu dia kembali ke kaka kelas itu dan kau hanya berbaring kesakitan di pojok kamar melihat semua usahamu selama itu sia-sia. Sekarang dia berkata bahwa dia tak lagi mengharapkan kaka kelas itu, tapi bagaimana jika kaka kelas itu tiba-tiba datang kembali padanya nanti? Dia akan membuangmu lagi! Apa kau tak ingat kejadian yang pernah terjadi padamu itu hah? Aku tidak mengerti kenapa perempuan itu tidak sadar jika dia sedang dipermainkan oleh kaka kelas itu, lalu apa yang kau harapkan dari perempuan seperti itu?”

“Rupanya kamu belum juga mengerti. Ternyata dugaanku benar, kamu cuma mengandalkan logika monoton yang sangat membosankan itu. Mungkin aku lebih bodoh darimu ‘otak’, tapi aku tak sebodoh itu dalam hal perasaan. Aku merasakannya sendiri bagaimana sakit hati karena dikecewakan, diduakan, dilupakan dan bahkan diabaikan oleh perempuan itu, namun aku melihat perubahan dalam dirinya. Kamu salah jika berkata aku dirugikan, Semua yang aku korbankan bahkan belum sebanding dengan perubahan positif perempuan itu dan hikmah yang aku dapatkan”

“Apa yang barusan kau katakan? Apa semua ini bukan tentang ‘Mendapatkan’ hati perempuan itu?”

“Sama sekali bukan itu, ini tentang keikhlasan dan tentang bagaimana kita menerima kenyataan. Tidak apa-apa jika dia nanti kembali berdua dengan kaka kelas itu pada saat mereka dipertemukan lagi, mungkin itu sudah menjadi takdir mereka yang takkan bisa aku ubah, dan juga tidak masalah jika pada akhirnya laki-laki lain yang menjadi pendamping dia nanti, karena bukan aku yang mengatur jodoh seseorang. Aku hanya ingin memastikan bahwa laki-laki itu adalah yang terbaik dari semua kaum Adam”

“It-itt….Itu pasti bohong kan? Kau ingin berkorban lagi demi mempertaruhkan harapan kosongmu itu lagi?”

“Aku tidak membohongimu wahai otak. Aku benar-benar sudah menyerahkan segalanya kepada Sang Pencipta jika usahaku ini gagal lagi, dan aku punya satu permintaan untukmu”

“Baiklah jika itu maumu, aku akan dukung selagi itu hal yang positif bagi semuanya. Lalu permintaan apa itu? katakanlah”

“Maukah kamu membantuku untuk bersaing dengan semua kaum Adam demi menjadi yang terbaik untuk seorang perempuan yang menjadi jodoh kita nanti?”

“Hahahaha ya tentu saja. Aku akan dengan senang hati melakukannya, Partnerku”

“Hahaha terimakasih banyak, Partner! Mari kita lakukan bersama”

KRIIIIIIIIIIIINGGGGGGGGGGG………….KRIIIIIIIIIIIIINGGGGGGGGGG…………….. ^%$Q&@$%Q&@$%&^!@%&^%!$&^!%#&^$%#@*^$&^#*$^@#*$^

***

Suara alarm di Handphoneku berbunyi… Apa? 
Ternyata aku tertidur tadi malam,
 Ibu bilang aku mengigau sangat kencang dengan film 
yang belum sempat aku matikan sebelum aku tertidur.
 Haha untung saja aku tidak memutar film yang aneh-aneh.
 Yah baiklah, saatnya aku bersiap-siap untuk bersaing 
dan menghadapi dunia yang hanya sementara ini.

Get Ready World, I’m Coming For You and I’ll Be The Best Here!-----------


_Hendry Alfiansyah_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

unfortunate circumstances

I noticed something different about myself, I no longer care about my appearance, I no longer care about people's feelings, Hell I no longer care about other people in general I have burned bridges and become this bitter person that lost the ability to empathize with others. Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita. Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya. Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi. Rasa empati yang hilang, semangat menjalani

You are not who you think you are

Kita selalu beranggapan bahwa Kita tahu siapa diri kita Mungkin iya dalam beberapa kasus tertentu Tetapi jarang ada orang yang tahu siapa diri dia sebenarnya. Bisa jadi kita beranggapan bahwa kita adalah seorang yang rajin Atau religius, atau pintar, atau senang berolahraga dan lainnya Tapi apa benar begitu? Mendefinisikan identitas diri bukan perjalanan yang semudah itu Identitas diri bukan sesuatu yang kita tahu secara subjektif saja Tapi kita harus melihat dan menguji diri kita secara objektif juga. Artinya kita harus bisa terlebih dahulu menjadi sebuah cermin Yang disana tidak ada lapisan subjektifitas atau pembelaan diri. Dengan memisahkan diri sebagai penilai dan yang akan dinilai Akan terlihat siapa kita sebenarnya dalam level alam bawah sadar Anggapan bahwa kita rajin, religius, pintar dan senang olahraga Akan terbukti atau akan tidak terbukti dengan melihat perilaku kita Bukan dari anggapan atau pengakuan diri kita saja. Sulitnya melakukan evaluasi diri ini adalah kecenderunga

The day after I killed myself

Before anyone wondering, no I’m not suicidal. I’m really afraid to die… but sometimes I couldn’t lift myself up to face this harsh reality either… This note isn’t my last note nor it is my suicide note, or whatever. This note is a closure, something that I needed for a long time, something that will serve me as a reminder that suicide is not a solution but rather another problem that will 100% spawn much more problems for people around me. What I wrote here is only a fiction about what would probably happened if I did end my life. Not to fantasize about dying or anything but this is just a reminder and an EVEN MORE reason why I shouldn’t give in… ============================== The day after I killed myself. The first one who will noticed my disappearance is probably my wife. Not contacting her for longer than 24 hours is already a cue that something is going on. I’ve told her so many times that I’m tired of living our marriage long-distance like this, I want to be by her side al