Langsung ke konten utama

TERATAI YANG NYARIS MATI


Namaku Hendry Alfiansyah, ini sudah tahun ketiga ku di SMA terfavorit di Rangkasbitung dan beberapa bulan lagi aku akan melakukan serah-terima jabatan kepengurusan di sebuah ekstrakurikuler. Melakukan ini semua mengingatkanku pada masa-masa saat aku baru saja lulus dari sekolah menengah pertamaku. 

 Waktu itu aku masih sangat polos dan tentu saja bimbang karena harus menunggu hasil dari seleksi masuk SMA yang aku idamkan. Selain itu, disitu pula pertama kalinya aku dihadapkan pada pengambilan keputusan yang berat karena di situ aku harus merelakan separuh hatiku yang terpaksa terpisah jauh karena kami berdua akan menuntut ilmu di sekolah yang berbeda.

 Aku tahu ini akan sangat sulit, aku tak tahu harus bagaimana untuk mengambil keputusan disaat aku membutuhkan seseorang untuk menjadi sumber motivasi. Aku percaya masa-masa galau seperti ini akan membuatku kuat di keesokan hari, biarlah hubungan yang pernah aku jalani dengan perempuan itu berakhir dengan sad ending, setidaknya teman-temanku sangat mendukungku dan berkata “lebih baik sakit sekarang daripada harus sakit di kemudian hari”. Tetapi pada akhirnya tetap saja mengucapkan itu jauh lebih mudah daripada menjalaninya, saat itu tak ada satupun kebahagiaan yang aku miliki kecuali kedua orangtuaku. 

Tak terasa sudah seminggu berlalu setelah tes akademik menyeramkan itu, saat yang ditunggu oleh seluruh peserta seleksi termasuk aku ini telah tiba dan aku bisa melihat dengan jelas pengumuman kelulusan dari seleksi ditempel di papan kayu tua bekas papan tulis itu. Syukurlah karena izin-Nya aku bisa lulus tes itu dengan maksimal, aku pun lega dan segera memberitahu Ibu dan Ayahku di rumah dengan bahagia. 

Mabis adalah acara sekolah pertama yang aku ikuti dua hari setelah pengumuman, aku yakin aku bisa mengawali debutku di SMA ini dengan baik dan juga mendapatkan akhir yang tak kalah baik, karena aku ingin sekali masuk perguruan tinggi negeri melalui SNMPTN, menjadi ketua organisasi di sekolah itu dan menjadi lini depan di tingkat siswa seperti masa SMP dulu saat aku menjadi ketua MPK disana. 

Singkat cerita dimulailah acara mabis itu, dengan seragam SMP dan macam-macam peralatan memusingkan yang harus dipakai seperti pita merah di seragam, bola yang dibelah dua untuk topi dan kantung plastik sebagai tas, aku berangkat jam empat dini hari diantar oleh ayahku dengan bersemangat walaupun sebenarnya aku sangat ngantuk. Aku pernah mengikuti mabis sebelumnya di SMP jadi aku fikir ini tidak akan menyakitkanku, mungkin hanya akan membuatku lelah selama tiga hari dan bisa aku lewati dengan mulus, tapi dugaanku salah.

 Sesampainya disana aku langsung dikejutkan oleh kakak-kakak panitia yang menyuruh peserta yang baru datang untuk bergegas masuk, aku dengan segera berlari masuk kedalam sekolah. Di dalam sekolah aku di geledah, aku diharuskan untuk push-up 50 kali karena kedapatan memakai jam tangan dan telat sepuluh menit. Setelah itu aku pun masuk kedalam ruangan regu dan ternyata sudah banyak teman-teman yang menunggu disini, kami lewati bersama acara hari pertama mabis dengan penuh semangat. 

Tidak ada bedanya di hari kedua, aku masih jadi sasaran kakak PKS yang memakai rompi biru itu, bahkan hukumanku bertambah menjadi 75 kali push-up. Hari itu penuh dengan materi dari sekolah tentang kesiswaan, organisasi dan kurikulum yang menurutku adalah acara paling membosankan sepanjang sejarah manusia, aku hanya berpura-pura antusias karena kakak panitia yang terus mengawasi dengan bola mata yang hampir keluar saat melotot. 

Akhirnya aku sampai di hari ketiga, hari yang selama ini aku tunggu bukan karena ada apresiasi seni dari masing-masing kelompok, bukan karena ada demo ekstra tetapi lebih karena itu adalah hari terakhir mabis yang harus aku lewati. Mengenai demo ekstra sebenarnya aku sedikit menikmati, penampilan keren dari tiap ekstra sangat membuatku bingung untuk memilih yang terbaik diantara mereka sampai akhirnya aku diajak oleh seorang kakak panitia untuk masuk dalam ekstrakurikuler paskibra saat aku hampir kerasukan mahluk gaib karena terlalu lama melamun. Aku menerima ajakan itu dengan semangat, aku ingat sekali alasan aku masuk ekstra ini bukan karena penampilannya yang menakjubkan karena semuanya hampir sama bagus menurutku, tapi karena yang mengajakku adalah senior yang sangat cantik. Di sinilah aku memulai semuanya bersama teman-teman angkatanku. 

Tahun pertama adalah tahun yang sangat luarbiasa bagi siswa baru, penyesuaian materi sekolah yang lumayan sulit serta suasana dengan teman-teman baru membuat semuanya terkesan tidak mungkin untuk dilewati, ditambah lagi dengan keadaan sekolah yang sedang direnovasi membuat angkatan kami pindah lokasi belajar ke sebuah SMP untuk sementara. 

Hari kamis pun tiba, ini hari pertemuan ekstra pertamaku dan aku sangat senang. Sebelum masuk jam pelajaran kami berkumpul di sebuah ruangan untuk forum ekstra. Aku duduk selang sekar bersebelaha dengan perempuan, pada saat materi aku tidak memperhatikan senior tapi aku malah memikirkan bagaimana caranya aku bisa berkenalan dengan perempuan di sampingku yang menurutku sangat sopan. Di sinilah aku bertemu seseorang yang aku jadikan motivasiku untuk belajar, namanya aku samarkan menjadi Nisa. Aku berkenalan dengan malu-malu dan seperti yang aku bayangkan, aku gugup. Setelah forum itu aku lebih sering melamun dan sering bermain dengan temanku Billy, kebetulan juga kami satu kelas. Kami cepat akrab hanya dalam beberapa hari, bahkan kami pernah terjatuh dari motor dua kali saat kami hendak menyelesaikan sebuah kepentingan. 

Beberapa bulan kemudian aku berubah menjadi seorang yang serius, jarang ada senyuman yang terpancar dari bibirku ini bahkan saat temanku Dewi yang selalu ceria itu menyapaku. Aku tidak terkena penyakit siput gila, aku hanya bosan kepada diriku sendiri karena aku tak bisa memberanikan diri walaupun hanya untuk berkenalan dengan Nisa, hingga pada hari ulang tahunku tiba. Aku dikerjai oleh seniorku dan teman-teman angkatanku, mungkin ini karma yang aku dapatkan karena aku sering menjahili mereka. Aku tidak sadar akhir dari semua itu adalah kejutan yang mereka berikan untukku yang baru menginjak umur 16 tahun. Bukan kejutannya yang membuat itu spesial tetapi karena aku diharuskan memilih seorang perempuan dari angkatanku untuk aku suapi kue, dengan spontan otakku memaksa untuk memilih Nisa, aku masih ingat aku menyuapinya potongan yang terlalu besar. Mulai dari momen itulah aku akrab dengan Nisa. 

Hanya berselang beberapa hari aku sudah berani menghubungi Nisa walaupun hanya untuk menyapanya. Aku senang sekali saat itu, mungkin aku mulai suka kepadanya dan tanpa ragu lagi aku menanyakan status hubungannya, dia bilang dia masih sendiri, disitulah aku memulai pendekatan. Karena aku tidak diizinkan membawa kendaraan bermotor, aku tidak bisa mengantarkannya pulang jadi aku hanya bisa memberikannya sebatang cokelat yang aku beli dari toko.

 Sudah terhitung satu semester sejak aku masuk ke SMA, aku semakin dekat dengan Nisa dan dia sepertinya mulai faham apa maksudku selama ini. Alvina temannya bilang bahwa dia juga pasti menyukaiku jadi langsung ku ungkapkan pada Nisa bahwa aku punya harapan yang sungguh besar padanya, “maaf tapi kamu terlalu baik buat aku, dan aku mau fokus belajar dulu jadi maafin aku sekali lagi” jawabnya. Semua itu berlalu begitu cepat, aku bahkan baru menyadari itu saat aku terbangun dari tidurku di kamar dan banyak bekas tisu berserakan disekelilingku. Satu semester dan semua hari yang aku jalani bersamanya itu tak ada artinya? Aku hanya termenung memikirkannya. Tetapi entah mengapa keesokan harinya saat aku membuka media sosial dan stalking akun miliknya, ternyata banyak sekali ungkapan bahagia yang ia tulis, akhirnya aku tahu dia baru saja menjalin hubungan dengan seseorang, lebih tepatnya kakak kelas sekaligus seniorku sendiri di paskibra. Aku merasa semuanya sangat tak adil!. 

Seminggu berlalu tanpa senyumnya banyak sekali yang aku lewatkan dengan kehampaan, rasanya seperti menjadi orang paling bodoh se-nusantara. Tiga hari yang lalu aku hampir terbawa bis ke kebon jeruk karena melamun, kemarin pun aku ditegur Ibuku saat aku memasak air sampai gosong karena hal yang sama. Sungguh ini mengubah hidupku, forum paskibra yang aku jalani tidak lagi penuh warna seperti biasanya, lalu bagaimana bisa aku bertahan di paskibra tanpa canda tawa dan senyum indahnya? Entahlah kurasa aku tidak sanggup menjalani ini. Seperti orang galau pada umumnya, aku enggan tersenyum dan memilih menjadi pendiam untuk saat itu, setidaknya sampai aku menemukan motivasi hidupku yang baru. Detik, menit, jam dan hari kulewati dengan raut wajah yang tidak berubah, sempat aku lirik kelasnya tapi berbeda dengan keadaanku saat ini dia sangat ceria bersama temannya. Kembali ke masa ini, dari aku junior sampai aku menjadi senior sekarang masih saja aku sering mengintip kelasnya untuk sekedar melihat senyuman manis seseorang, tapi itu bukan lagi Nisa, tapi seorang Bidadari tanpa sayap yang juga kehilangan harapannya dari seseorang, pemberi motivasi dan juga memberikan cahaya kehidupan padaku, pada teratai yang nyaris mati ini. Terimakasih telah menjadi harapan baruku, Aulia.

Hendry alfiansyah-2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

unfortunate circumstances

I noticed something different about myself, I no longer care about my appearance, I no longer care about people's feelings, Hell I no longer care about other people in general I have burned bridges and become this bitter person that lost the ability to empathize with others. Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita. Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya. Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi. Rasa empati yang hilang, semangat menjalani

You are not who you think you are

Kita selalu beranggapan bahwa Kita tahu siapa diri kita Mungkin iya dalam beberapa kasus tertentu Tetapi jarang ada orang yang tahu siapa diri dia sebenarnya. Bisa jadi kita beranggapan bahwa kita adalah seorang yang rajin Atau religius, atau pintar, atau senang berolahraga dan lainnya Tapi apa benar begitu? Mendefinisikan identitas diri bukan perjalanan yang semudah itu Identitas diri bukan sesuatu yang kita tahu secara subjektif saja Tapi kita harus melihat dan menguji diri kita secara objektif juga. Artinya kita harus bisa terlebih dahulu menjadi sebuah cermin Yang disana tidak ada lapisan subjektifitas atau pembelaan diri. Dengan memisahkan diri sebagai penilai dan yang akan dinilai Akan terlihat siapa kita sebenarnya dalam level alam bawah sadar Anggapan bahwa kita rajin, religius, pintar dan senang olahraga Akan terbukti atau akan tidak terbukti dengan melihat perilaku kita Bukan dari anggapan atau pengakuan diri kita saja. Sulitnya melakukan evaluasi diri ini adalah kecenderunga

The day after I killed myself

Before anyone wondering, no I’m not suicidal. I’m really afraid to die… but sometimes I couldn’t lift myself up to face this harsh reality either… This note isn’t my last note nor it is my suicide note, or whatever. This note is a closure, something that I needed for a long time, something that will serve me as a reminder that suicide is not a solution but rather another problem that will 100% spawn much more problems for people around me. What I wrote here is only a fiction about what would probably happened if I did end my life. Not to fantasize about dying or anything but this is just a reminder and an EVEN MORE reason why I shouldn’t give in… ============================== The day after I killed myself. The first one who will noticed my disappearance is probably my wife. Not contacting her for longer than 24 hours is already a cue that something is going on. I’ve told her so many times that I’m tired of living our marriage long-distance like this, I want to be by her side al