Langsung ke konten utama

Kembali ke Khayangan


Dua puluh tiga hari

Dua puluh tiga hari sudah berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku merasa bahwa aku adalah orang paling beruntung di dunia ini. Tanpa terasa olehku bahwa dunia ini berputar dengan cepat, dan saat aku sadar, tidak ada apapun yang tersisa untukku, tiada lagi tempat untukku dimanapun dalam hatinya. Hari-hari itu berlalu begitu saja, tanpa sapa, tanpa tanya, dan tanpa apapun tiap kali aku berpapasan dengannya sejak itu. Waktu yang biasanya terhenti saat aku melihat senyumannya, kini mengalir bagai sungai deras di tepi air terjun yang sangat curam. Detik-detik yang semestinya membeku saat aku merasa 
“Dunia ini hanya milik aku dan dia” hilang entah kemana. 
Dia selalu menghindariku saat aku ada disekitarnya, meskipun aku tidak bermaksud untuk menemuinya. Bahkan dia enggan melihat wajahku yang menatap penuh tanya mengharapkan penjelasan darinya. Dari situ aku mempelajari sesuatu: 

Tidak akan ada yang dapat bertahan abadi di dunia ini. Sekalipun itu adalah cinta dan kita merasa cinta itu cinta yang abadi.

“Sahabat”

Posisi yang dia percayakan kepadaku dulu. Aku rasa aku melakukannya dengan baik sejauh ini. Setidaknya aku tidak pernah tidak memberikan perhatian yang dia butuhkan dan melakukan semua yang dia amanah kan padaku. Menurutku menjadi sahabatnya adalah hal paling menyenangkan yang terjadi padaku selama masa SMA. Semuanya kami lakukan bersama. Kami seringkali belajar bersama, janjian untuk berpuasa dan berbuka puasa bersama, dan juga saling mengingatkan untuk ibadah malam. Bahkan di waktu lalu, aku dan dia memiliki nilai yang tidak berbeda jauh sehingga bisa berada di tabel peringkat dengan hanya berbeda 1 poin nilai, sungguh ‘persahabatan’ yang indah bukan?. Huehe

Selama mengemban tugasku yang ia berikan itu, banyak sekali hal aneh yang terjadi padaku, salah satunya adalah adanya setitik cahaya didalam hatiku yang mencoba untuk menganggap dia lebih dari sahabatku. 
Bukan sebagai ‘Sahabat super’ ataupun ‘Best friend forever ever after blabla’ dan semacamnya, tetapi sebagai seseorang yang menjadi sumber segala semangat dalam tujuan hidupku. Someone special, begitu orang-orang menyebutnya. Mungkin karena ‘persahabatan’ yang aku lalui itu sudah tumbuh melewati batas kepedulian dan perasaan yang berbeda dari persahabatan yang seharusnya. Menurutku itu lebih mirip seperti hubungan yang bukan persahabatan, iya, itu mungkin saja ‘persahabatan’ dalam tanda kutip.

Ku ingat lagi, hari ini, hari ke-dua puluh tiga setelah semua itu bermula, tepatnya dua puluh tiga hari setelah aku merasa dia mulai berubah. 
Dia ini bukan berubah seperti Power ranger ataupun Kamen rider yang aku sering lihat di internet, tetapi dia berubah tingkahnya menjadi seorang perempuan yang sepertinya tidak memerlukan seseorang pun di sekitarnya, kala itu dia bertindak seolah dia bisa melakukan segalanya sendirian. Itu perubahan yang aneh dalam waktu yang singkat. Aku memakluminya walaupun dia tidak pernah menjawab kata tanya “mengapa” yang sebenarnya tidak pernah juga keluar dari mulutku, aku tidak menghalanginya, ‘biarkan saja’ kataku dalam hati. Aku mengertikan itu sebagai keputusannya untuk menyendiri karena suatu hal sedang terjadi padanya. Walaupun sebenarnya aku khawatir sesuatu itu akan menjadi lebih buruk jika aku mengabaikannya.

Dua puluh tiga hari.
.
.
Dua puluh tiga hari sudah berlalu tanpa arti. 
.
.
.
Dan mengapa aku baru menyadarinya?
.
.
.
.
Itu memang sebuah keputusan yang tidak seharusnya aku pilih, seharusnya aku lebih memperhatikannya dan menanyakan apa yang terjadi padanya saat itu. Aku bermimpi buruk di malam setelah aku memutuskan hal itu, dan sejak hari itu, hidupku mulai berubah menjadi sepi.

Dua minggu lalu, Teman sebangku di sekolahku menceritakan hal yang seharusnya sudah aku tahu sejak dahulu saat semua ini bermula. 

“Foto-foto mereka itu hen! Dewi liat di laptopnya si itu!!”

Kata-kata nya terngiang di ubun-ubunku hingga tujuh hari tujuh malam. Aku mencoba menepisnya, aku tahu orang yang saat ini aku harapkan tidak mungkin memiliki masa lalu yang hina dan diluar batas norma. Aku berusaha teguh pada pendirianku tentang dirinya, aku tetap berfikir positif bahwa dia adalah perempuan baik-baik dan merupakan keturunan dari keluarga baik-baik pula. Sungguh tidak mungkin bagiku untuk mempercayai itu.
Dewi merujukan kata “itu” dalam kalimatnya kepada seseorang yang dulunya pernah menjadi bagian dari semangat perempuan itu. Dan yang aku tahu, mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi sejak lama. Selain alasanku sebelumnya, inipun memperkuat argumenku bahwa tidak mungkin mereka masih bersama setelah dua tahun lalu mereka mengakhiri komitmen masing-masing. Dan tidak mungkin foto yang dilihatnya itu nyata. Aku banyak melamun setelahnya.

Tiga belas hari sejak kabar foto itu, sahabatku dan kedua temannya memberitahukanku mengenai apa yang mereka lihat setelah pulang dari sesi pemotretan buku tahunan sekolah. Katanya, mereka melihat dia sedang bersama seorang laki-laki. Dan mereka sangat yakin laki-laki itu bukan ayah ataupun saudaranya, apalagi mahram nya. Aku hanya terdiam mendengar kesaksian yang mereka berikan. Bukan maksudku untuk meragukan tiga sahabat baikku ini, tetapi mungkin mereka hanya salah melihat. Dia kan sangat sulit keluar dari rumahnya saat disana ada ayah dan ibunya. Ditambah lagi, mana mungkin seorang perempuan menerima kembali laki-laki yang dulu pernah mengkhianati cintanya itu. “kemungkinan besar jika itu bukan saudaranya, laki-laki yang bersamanya itu pasti mantannya” kata-kata itu kukatakan tanpa berfikir, untung saja sahabatku sudah pergi.
Aku mencoba sabar dan mengumpulkan keberanianku untuk menerima keadaan terburuk yang mungkin terjadi. Malam itu aku tertidur.
Dalam balutan kegelisahan.
.
.
.
Hari ke dua puluh empat
.
.
.
.
Hari ke dua puluh empat yang aku coba nikmati setiap jam, menit, dan detiknya. Dia melintas di hadapanku dan kali ini dia muncul dengan senyuman di depan mataku saat aku tengah melamun di depan koridor sekolah yang kosong. Aku menajamkan penglihatanku agar aku yakin tidak sedang berhalusinasi. Aku membalas senyumannya dengan sapaan. Ekspresi wajahnya seketika berubah. Dua puluh empat detik berlalu dengan fikiran kosong di kepalaku, akhirnya aku sadar senyuman itu bukan tertuju padaku. Tetapi kepada orang yang menemani duduk disebelahku, mantannya. Sesak. Perasaan ku hilang, larut bersama dengan pudarnya warna langit biru yang berubah kemerahan.


Hari ke dua puluh empat

Di fikiranku,
Hari itu adalah,
Hari ke dua puluh empat.
Hari saat cinta tak lagi utuh bagiku.
Dua puluh empat hari,
Perjuangan sia-sia
yang akhirnya ku akhiri dengan senyuman hampa,
juga hati yang tak lagi bahagia,
Hari ke dua puluh empat,
Hari saat Bidadariku,
 akhirnya kembali ke Khayangan.

Tempat dimana dia berasal.
Hari terakhirku memanggilnya,
Aulia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

unfortunate circumstances

I noticed something different about myself, I no longer care about my appearance, I no longer care about people's feelings, Hell I no longer care about other people in general I have burned bridges and become this bitter person that lost the ability to empathize with others. Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita. Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya. Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi. Rasa empati yang hilang, semangat menjalani

You are not who you think you are

Kita selalu beranggapan bahwa Kita tahu siapa diri kita Mungkin iya dalam beberapa kasus tertentu Tetapi jarang ada orang yang tahu siapa diri dia sebenarnya. Bisa jadi kita beranggapan bahwa kita adalah seorang yang rajin Atau religius, atau pintar, atau senang berolahraga dan lainnya Tapi apa benar begitu? Mendefinisikan identitas diri bukan perjalanan yang semudah itu Identitas diri bukan sesuatu yang kita tahu secara subjektif saja Tapi kita harus melihat dan menguji diri kita secara objektif juga. Artinya kita harus bisa terlebih dahulu menjadi sebuah cermin Yang disana tidak ada lapisan subjektifitas atau pembelaan diri. Dengan memisahkan diri sebagai penilai dan yang akan dinilai Akan terlihat siapa kita sebenarnya dalam level alam bawah sadar Anggapan bahwa kita rajin, religius, pintar dan senang olahraga Akan terbukti atau akan tidak terbukti dengan melihat perilaku kita Bukan dari anggapan atau pengakuan diri kita saja. Sulitnya melakukan evaluasi diri ini adalah kecenderunga

The day after I killed myself

Before anyone wondering, no I’m not suicidal. I’m really afraid to die… but sometimes I couldn’t lift myself up to face this harsh reality either… This note isn’t my last note nor it is my suicide note, or whatever. This note is a closure, something that I needed for a long time, something that will serve me as a reminder that suicide is not a solution but rather another problem that will 100% spawn much more problems for people around me. What I wrote here is only a fiction about what would probably happened if I did end my life. Not to fantasize about dying or anything but this is just a reminder and an EVEN MORE reason why I shouldn’t give in… ============================== The day after I killed myself. The first one who will noticed my disappearance is probably my wife. Not contacting her for longer than 24 hours is already a cue that something is going on. I’ve told her so many times that I’m tired of living our marriage long-distance like this, I want to be by her side al