Langsung ke konten utama

unfortunate circumstances


I noticed something different about myself,
I no longer care about my appearance,
I no longer care about people's feelings,
Hell I no longer care about other people in general
I have burned bridges and become this bitter person
that lost the ability to empathize with others.

Ada hal yang terjadi ketika kita berada dalam sebuah situasi terlalu lama, kita beradaptasi dengan sekitar kita dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri kita.

Saya tidak pernah membayangkan akan ada di posisi seperti ini begini lamanya. Semua hal di dunia ini jelas terlihat seperti sudah terencana dan terorganisir untuk membuat hidup saya sehambar mungkin sampai akarnya.

Semua itu terjadi pada tahapan yang paling kecil dan perlahan yang sama sekali tidak saya sadari sehingga ketika saya mengetahuinya, semua itu sudah terlambat dan sudah terjadi pada tingkatan yang fundamental. Diri saya juga mengalami perubahan mikro itu seiring kehidupan saya yang bertransisi.

Rasa empati yang hilang, semangat menjalani hari yang sudah tidak lagi menggebu, dibungkus dengan tidak pastinya keadaan serta rasa ketidakberdayaan yang begitu dalam terhadap keadaan yang tidak pasti tersebut, lengkap sudah.

Di pikiran saya bukan lagi pertanyaan "apakah ini akan berakhir?" yang terus muncul karena sebagai muslim saya percaya Tuhan pasti akan mengabulkan doa saya untuk membukakan jalan keluar, namun yang ada di benak saya justru apakah saya bisa menjalani semua ini lebih lama lagi.

Saya mengapresiasi semua orang yang sudah berusaha peduli, menawarkan solusi atau bahkan sekedar menanyakan tentang bagaimana perasaan saya. Saya pun minta maaf terkadang sulit bagi saya mendengarkan semua perkataan itu dan saya cenderung menghindar dari orang yang membantu saya, saya percaya itu juga bagian dari masalah.

Saya iri kepada orang-orang dengan keadaan yang lebih baik dari saya. Tetapi saya percaya Tuhan maha adil dalam semua keadaan yang Ia tentukan kepada hamba-Nya..

Guess I'll try to stick around a little longer, even if I might lose myself or who I am in the process.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Newfound Motivation

It's enough. I believe living like this is enough. It should be. It has to be. Ketika saya berencana menikah, tentu ini bukan kehidupan pernikahan yang saya bayangkan. Hampir dua tahun berlalu dan kami masih belum melihat ada jalan untuk kami hidup berdua. Semesta memang lucu ya. Saya mengadu kepada Yang Maha Kuasa. Namun Yang Maha Kuasa lah yang menempatkan saya di posisi sekarang ini. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak ini jalan bagi kami, selagi kami tetap berusaha, saya percaya kehidupan pernikahan seperti ini tidak akan Ia murkai. Pasti ada maksud dibalik keputusan-Nya membiarkan kami di posisi ini. Meski begitu saya hanyalah seorang manusia. Tidak ada salahnya bukan jika kadang saya merasa putus asa dalam tiap langkah saya? Hanya melangkah kedepan yang saya bisa lakukan. Meski itu sambil menangis, meronta dan mengumpat sekalipun. Jika saya terlihat melakukan segala cara halal yang bisa dilakukan, ya, saya memang se-putus asa itu dan nekat mencoba apa yang saya bisa. Biarkan kat...

crushing pressure

"Hen, tau gak si A sama istrinya pindah" "Hen si B udah pindah" "Hen kok kamu belum pindah" Somehow being told that I'm not the only one with this circumstances doesn't reassure me. What do you know about my situation? Do you think you understand how I feel? Do you think someone that you thought have the same situation as mine REALLY got no help like me? Shut up. I thought some people didn't care about me anymore, but maybe they don't care about me in the first place?

Makna Kecerdasan

Lebih dari 14 abad yang lalu, para sahabat telah mengetahui mukmin mana yang paling cerdas. Hal itu bermula dari pertanyaan sebagian sahabat kepada Rasulullah. Ibnu Majah meriwayatkan dalam hadits berderajat hasan. Hadits ini dari Ibnu Umar, bahwa ada seorang Anshar yang menghadap Rasulullah saat Ibnu Umar duduk bersama beliau. يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ “Wahai Rasulullah, orang mukmin manakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya.” Orang itu bertanya lagi, “Mukmin manakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak baik persiapannya menghadapi kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas.”  (HR. Ibnu Majah) Orang yang paling cerdas bukanlah orang yang paling tinggi...